info selanjutanya disini
Minggu, 16 Juli 2017
Kamis, 13 Juli 2017
Wafat Sunan Kali Jaga
KANJENG SUNAN KALIJAGA
Perjalanan wisata religi di bulan Ramadan ini, tidaklah lengkap jika
tidak mampir ke Desa Kadilangu, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak,
Jawa Tengah. Dari Masjid Agung peninggalan Walisongo yang kesohor itu,
letak Desa Kadilangu hanya berjarak 12 km arah timur laut dari pusat
kota Demak, yang berjulukan Kota Wali. Di sinilah terdapat makam salah
seorang wali termuda dan sekaligus tersohor, Sunan Kalijaga. Di kompleks
makam yang luasnya sekitar 1 hektare, terdapat pula Masjid Sunan
Kalijaga yang berdiri tahun 1532.
Di antara delapan wali lainnya, Kalijaga merupakan yang paling muda diangkat sebagai wali, memiliki ilmu paling tinggi, dan paling panjang usianya. Kalijaga konon lahir tahun 1455 dan wafat pada tahun 1586. Usianya mencapai 131 tahun. Namun sejumlah literatur menyebutkan, kelahiran maupun kematiannya tidak diketahui. Karena usianya yang panjang itu pula, Kalijaga disebutkan mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Salah satu dari empat tiang kayu raksasa (sakaguru) di Masjid Agung Demak, merupakan karya Kalijaga, yang bukan terbuat dari kayu utuh, melainkan disusun dari beberapa potongan balok yang diikat menjadi satu (saka tatal). Kalijaga lahir dengan nama Raden Said, putra Arya Wilatikta (Adipati Tuban) dan Dewi Sukowati. Ia memiliki sejumlah nama panggilan, antara lain Lokajaya, Syeh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Mengenai asal-usul nama Kalijaga terdapat beberapa versi. Warga masyarakat Cirebon menganggap nama itu berasal dari Dusun Kalijaga di Cirebon. Kalijaga memang pernah tinggal di sana dan bersahabat erat dengan Sunan Gunungjati. Namun masyarakat di Jateng mengaitkan nama itu dengan kebiasaan Sang Wali yang senang melakukan tapa kungkum (bertapa dengan berendam diri di sungai/kali, sehingga muncul istilah ''jaga kali''. Tapi ada pula yang mengatakan kalau istilah itu berasal dari bahasa Arab, qadli dzaqa, untuk menunjuk statusnya sebagai penghulu suci kesultanan.
Kalijaga merupakan ulama yang paling lama menjalankan tugas dakwahnya. Dia dikenal sebagai murid kesayangan Sunan Bonang. Pola dakwah yang dikembangkannya mirip dengan guru sekaligus sahabatnya tersebut. Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah.
Di antara delapan wali lainnya, Kalijaga merupakan yang paling muda diangkat sebagai wali, memiliki ilmu paling tinggi, dan paling panjang usianya. Kalijaga konon lahir tahun 1455 dan wafat pada tahun 1586. Usianya mencapai 131 tahun. Namun sejumlah literatur menyebutkan, kelahiran maupun kematiannya tidak diketahui. Karena usianya yang panjang itu pula, Kalijaga disebutkan mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Salah satu dari empat tiang kayu raksasa (sakaguru) di Masjid Agung Demak, merupakan karya Kalijaga, yang bukan terbuat dari kayu utuh, melainkan disusun dari beberapa potongan balok yang diikat menjadi satu (saka tatal). Kalijaga lahir dengan nama Raden Said, putra Arya Wilatikta (Adipati Tuban) dan Dewi Sukowati. Ia memiliki sejumlah nama panggilan, antara lain Lokajaya, Syeh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Mengenai asal-usul nama Kalijaga terdapat beberapa versi. Warga masyarakat Cirebon menganggap nama itu berasal dari Dusun Kalijaga di Cirebon. Kalijaga memang pernah tinggal di sana dan bersahabat erat dengan Sunan Gunungjati. Namun masyarakat di Jateng mengaitkan nama itu dengan kebiasaan Sang Wali yang senang melakukan tapa kungkum (bertapa dengan berendam diri di sungai/kali, sehingga muncul istilah ''jaga kali''. Tapi ada pula yang mengatakan kalau istilah itu berasal dari bahasa Arab, qadli dzaqa, untuk menunjuk statusnya sebagai penghulu suci kesultanan.
Kalijaga merupakan ulama yang paling lama menjalankan tugas dakwahnya. Dia dikenal sebagai murid kesayangan Sunan Bonang. Pola dakwah yang dikembangkannya mirip dengan guru sekaligus sahabatnya tersebut. Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah.
Kesaktian Sunan Kali Jaga
Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda
datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke
Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir
tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi
perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis
Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI
(2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni
makam Sunan Kalijaga.
Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah
karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering dimanfaatkan tanpa
disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi dengan
kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak
bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali.
Perhatikan :
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA
Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.
Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum
dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang
sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya
Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga
bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan
konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang
tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik
perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan
membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran.
Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics:
Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness
(1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan
sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat
berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan
materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan
Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai
dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib
seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya
pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.
Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di
desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama
tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan
buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil
mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar
tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di
mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang
bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan
tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut
doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.
Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi
Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan
Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan
bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip
di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan
terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu
sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi
memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan
dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa
itu.
Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935,
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk
Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah
“yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal
sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain
setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi
ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga,
para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.
Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas
harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam,
kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat
ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke
sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses
kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna
yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti
membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai
materi untuk ditafsirkan kembali.
Episode brandal
Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita
sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat
pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden
Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga
disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara
politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan
“penghubungan” dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak
-seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh
kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.
Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat
kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit,
sehingga ia bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang
kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya
dibagikan kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya
versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir
untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang
(1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling
budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden
Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak
diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.
Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama
tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas -tetapi ketika berhasil
merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas
dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang
tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu
mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat
untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah
hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat
hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan
untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar
“ilmu-ilmu“.
Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta
Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum
akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak.
Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dari ketafakurannya selama
bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan
Kalijaga.
Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti
kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat
terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh
Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk
dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884,
dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada
1993. Dalam “suluk linglung” itu juga dikisahkan pertemuan Sunan
Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah
haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa
untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri,
yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.
Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur,
sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok dari pembangunan
karakter Sunan Kalijaga : yakni bahwa selalu ada segi-segi “kebadungan”
dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang sangat penting dalam
kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti terlihat dari
perdebatannya dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi
Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak
begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam
syariat agama.
Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan
kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi
pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia
masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana
pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong,
bayangbayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan
wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan
ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat
Jawa. Bukankah pertanyaan sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan
oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah
mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran
Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi
penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun
sekarang.
Saka Tatal & Jung Cina
Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari
kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong
royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian
mendirikan salah satu dari empat tiang utama Mesjid. Entah kenapa, Sunan
Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga
dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu
dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal – dan ternyata
tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat
dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi.
Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan
Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.
Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan
Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik
perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid
dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu
untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan dengan tujuan penelitiannya,
timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut : Apakah Sunan Kalijaga
memintabantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam
masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa;
apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif dan menghayati hadits
“tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, telah mempelajari teknik itu
dari orang-orang Tionghoa; dan yang paling rawan adalah, apakah Sunan
Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?
Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti,
antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
(1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai
Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul
Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan
Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda,
H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun
sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.
Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang
“terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan,
tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir:
“Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah
narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang
dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah “tokoh
khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay Annals untuk
menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat “agak susah”
untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena
tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun
kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: “Kalaupun Gan Si Cang
adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan
Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh
penguasa Demak untuk turut serta membangun mesjid.”
Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir
sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas
peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai
kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini terdapat
adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang
meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi
ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran“, bahkan kadang
disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam pusat” di
Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak
ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah
ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim
Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di manapun, meski tetap
tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti
penyerahan diri.
Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan
oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir. “Sunan
Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya,
sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka’bah Mekah, dan pada
saat yang sama Ka’bah pun menurut bersepakat dengan Mesjid Demak.
Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:
Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok
puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk /
Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna
segaris tiada melenceng.
“Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan
sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan
satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan
dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah
yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah
memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang
wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid Demak sebagai
pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui
kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang
membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru
berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap
“keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.”
Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam
babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan
daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar
memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos
demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan
informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan
Kalijaga : kreatif dan merdeka.
Lir-ilir, lir-ilir
Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam “rumah” kokoh dengan ukiran
Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa
dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan
mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang.
Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota.
Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa
dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan
kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka
terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan
pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika
masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun
kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.
Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat
pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang
sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting –
tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini
dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya
ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan
keagamaan yang serius :
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!
Sunan Kali Jaga & Ratu Kidul
Di era
1400M, ditengah berkecamuknya dua aliran berbeda pandangan, antara
ajaran Islam dan ajaran Hindustani, kala itu Galuh Pajajaran, yang di
kepalai oleh raja Sakti Mandraguna, Prabu Siliwangi.
Ia tidak mau di islamkan oleh Kanjeng Syeikh Syarif Hidayatulloh (kakek dan cucu) sehingga menimbulkan perang saudara diantara kedua belah pihak.
Dalam hal ini Pangeran Arya Kemuning, Dewi Nyimas Gandasari dan Nyimas Roro Kencono Wungu, ditugaskan untuk mengalahkan kesaktian Prabu Siliwangi.
Namun sang
Prabu, bukan hanya sakti, beliau juga seorang linuwih dalam hal
strategi perang, sehingga kala itu pasukan Cirebon, dengan mudahnya di
kalahkan.
Dengan kalahnya pasukan Cirebon, Kanjeng Sunan KaliJaga, akhirnya di utus untuk menghadapi kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi, namun lagi-lagi utusan Cirebon, tidak bisa mengalahkannya.
Berangkatlah Sang KaliJaga
dan sesampainnnya di dasar laut pantai Selatan, beliau di tolak
mentah-mentah oleh Ibu Ratu Kidul, dengan alasan tidak membawa bukti
atau surat utusan dari Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Disinilah kejelian Ratu Kidul, padahal beliau sudah sejak lama menaruh hati kepada Kanjeng Sunan KaliJaga:
“Wahai kisanak…..pulanglah kecuali kau mempertemukan aku dengan raja Panatagama” sebutan buat raja Cirebon.
Karena merasa tidak mendapatkan hasil, maka Kanjeng Sunan KaliJaga, terpaksa membawa Kanjeng Ratu Kidul, untuk menghadap kanjeng Sunan Gunung Jati, sesampainya tiba di kota Cirebon, Kanjeng Sunan Gunung Jati, menyambutnya dengan tersenyum simpul.
Melihat
kanjeng Sunan Gunung Jati, tersenyum……..Ibu Ratu Kidul, langsung
wajahnya memerah, beliau sangat malu dan takut karena Sang Sunan bisa
membaca pikirannya.
Sesampainya di dalam Kaputren, Sunan Gunung Jati, langsung memanggil Kanjeng Ratu Kidul atau Dewi Nawang Wulan, putri Prabu Siliwangi, dari istri ke dua, Ratu Palaga Inggris.
“Wahai
putri Prabu Siliwangi, hanya dikau yang mampu mengalahkan kesaktian
ayahandamu, pinjamkanlah KaliJaga, pusakamu yang bernama, Tombak Karera
Reksa” terang Kanjeng Sunan Gunung Jati.
“Ampun Gusti Susuhunan Panatagama, saya hanya memberikan pusaka itu kepada suamiku kelak” kata Ibu ratu Kidul.
Dengan tertawa kecil, Sunan Gunung Jati, langsung berujar kepada Kanjeng Sunan KaliJga:
“Wahai
Rayi KaliJaga, sesungguhnya tiada yang lebih mulia kecuali berpegang
pada keagungan Syiar Islam, nikahlah dengannya (Ratu Kidul) atas nama
Islam dan bukan karena nafsu”
Dengan ketulusan hati kanjeng Sunan KaliJaga, beliau menerima dengan kepatuhan seorang murid atas perintah gurunya.
Namun, bagi Ibu Ratu Kidul, yang suka mempermainkan idamannya, beliau tidak langsung menerima kesetian Kanjeng Sunan KaliJaga, walau dalam hatinya saat itu penuh dengan bunga cinta, beliau mencoba kekasihnya terlebih dahulu.
“Ampun
Gusti Panatagama, bagi para penghuni dasar laut Selatan, sangat pantang
menerima seorang suami tanpa adanya suatu ikatan bathin, saya hanya
ingin calon suamiku memberikan satu kenangan di hari pernikahannya
nanti, berupa Tasbih Kecubung atau wulung, yang berasal dari laut Merah”..
Lalu sang Sunan, minta undur diri untuk melaksanakan tugasnya, beliau langsung pergi ke gunung Ciremai, menjalankan tafakkur dan minta perlindungan kepada Allah SWT.
Di malam ke 4, Kanjeng Sunan, kedapatan isyaroh, yang mengatakan akan datang seseorang yang membimbing untuk menemukan dimana “Tasbih Wulung/kecubung berada”.
Atas ijin Allah, siang harinya tiga sosok manusia yang berasal dari bangsa lelembut bernama, Sanghiyanng Sontong, Sang Ratu Sanggah Wisesa dan Sih Walikat, datang menghampirinya.
Ketiganya langsung mengutarakan niat baik mereka untuk membantu sang Sunan, dalam pencarian tasbih wulung atau kecubung. Maka diajaknya sang Sunan dengan ilmu aji Sakta Gelap Gulita (ilmu menghilang bangsa lelembut).
Ketiganya langsung mengutarakan niat baik mereka untuk membantu sang Sunan, dalam pencarian tasbih wulung atau kecubung. Maka diajaknya sang Sunan dengan ilmu aji Sakta Gelap Gulita (ilmu menghilang bangsa lelembut).
Sesampainya di pinggir laut Merah, ke empat orang yang barusan datang tadi langsung disambut oleh Pangeran Sulaiman Gaib (pendamping Ratu Bilqis, dari bangsa Sulaiman).
Dengan kemurahan hati sang Pangeran, semua diajaknya masuk ke dalam kerathon Bagaskara (bawah laut bagian utara Iraq) dan atas ijin sang Ratu Agung Bilqis, diberikanlah Kanjeng Sunan kaliJaga, satu buah Nur Sulaiman AS, berwujud peti ukir, dari alam Azrak yang di dalamnya terdapat Tasbih Wulung atau kecubung, berbahan batu kecubung giok.
Manfaatnya
sebagai sarana pembuka aura paling cepat, ketenangan, kharisma, wibawa,
penakluk dan mahabbah paling topcer yang banyak disukai kalayak umum
maupun pribadi.
Dengan keberhasilan ini akhirnya Kanjeng Sunan KaliJaga, pamit pulang dan langsung menemui gurunya Kanjeng Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati.
Dengan rasa suka cita Kanjeng Sunan Gunung Jati, langsung memerintahkan Rayi KaliJaga, untuk secepatnya menemui Ratu Kidul Nawang Wulan, sehingga dengan pertalian mereka berdua akan lebih mudah untuk menaklukkan raja Munding Wangi, bergelar Prabu Siliwangi Galuh.
Dengan di iringi 40 orang dari Kaputren PakungWati, rombongan Kanjeng Sunan KaliJaga, mulai berangkat menuju laut Selatan, ternyata perjalanan mereka sudah lebih dulu diketahui oleh Kanjeng Ibu Ratu Kidul, yang dengan riangnya mempersiapkan segala hiasan dan pernak pernik untuk menyambut kedatangan kekasihnya.
Setelah kedua kekasih resmi menjadi sepasang suami istri, maka diserahkannya pusaka penakuk Karera Reksa,
yang selama ini menjadi bagian dari pusaka wahid kerathon bangsa dasar
laut. Dan setelah semuanya usai, sang Sunan, langsung ijin pamit untuk
menunaikan tugas mulia, mengalahkan Prabu Siliwangi.
Pusaka karera Reksa, langsung diserahkan kepada gurunya Kanjeng Sunan Gunung Jati, lalu pusaka itu oleh sang guru ditambahi satu tombak diatasnya (ditancapkan satu tombak).
Sehingga pusaka Karera Reksa yang tadinya mempunyai 7 cabang dan satu Jalu runcing disamping, menjadi 9 cabang dan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati, tombak Karera Reksa, diberi nama baru dengan sebutan Pusaka Agung Buana Tombak Nirwana Cakra Langit.
Dengan pusaka Cakra Langit, akhirnya Prabu Siliwangi, bisa dikalahkannya melalui perang tanding selama 7 malam berturut-turut dan tombak Cakra Langit, sendiri akhirnya dimuseumkan kembali di kerathon dasar laut Pantai Selatan.
Selasa, 11 Juli 2017
5 Pusaka Sunan Kalijaga
1. Rompi Ontokusumo.
Pusaka Sunan Kalijaga yang satu ini konon diberikan langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah kisah, rompi ini didapat oleh Sunan Kalijaga setelah beliau mengkhatamkan Al-Qur’an. Tepatnya pada hari Jum’at legi bersama kedelapan sunan yang lain yang berkumpul di masjid Demak.
Beliau tiba-tiba memperoleh hadiah berupa kulit kambing yang dibuat menjadi rompi. Rompi inilah yang kemudian disebut sebagai rompi Ontokusumo
2. Keris Kyai Carubuk
Kanjeng Sunan Kalijaga juga memiliki senjata pusaka yang bernama Keris Kyai Carubuk. Pusaka ini dibuat oleh Empu Supa yang juga sahabatnya sendiri. Konon bahan yang diberikan oleh empu tersebut hanya besi biasa yang besarnya hanya sebiji asam, namun anehnya beratnya tidak sesuai dengan ukuran yang sebenarnya.keris ini sangat ampuh dan diwariskan turun temurun. Keris ini bahkan dapat mengalahkan kesaktian dari keris Setan Kober milik Arya Panangsang kala terjadi pemberontakan di Mataram.
3. Api Alam
Pusaka Api Alam merupakan api abadi yang hingga sekarang masih terus menyala di daerah Mrapen Jawa tengah. Api Alam pertama kali ditemukan oleh Sunan Kalijaga kala Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah dalam perjalanan dakwahnya. Kemudian timbullah gas yang kemudian menjadi api dengan diameter 1,5 meter.
4. Sendang atau sumur
Sunan kalijaga juga meninggalkan pusaka berupa sumur dengan air yang jernih. Namun air itu berubah warna menjadi keruh dan mendidih ketika empu Supa menyepuhkan keris yang dibuatnya di sumur tersebut.
5. Batu Bobot
Pusaka ini sengaja ditinggalkan sunan dalam perjalanan dakwahnya. Batu ini sengaja ditinggalkan karena beratnya yg luar biasa.
.
Senin, 03 Juli 2017
Biografi Sunan KaliJaga
Nama aslinya adalah Joko Said yang dilahirkan sekitar tahun 1450 M.
Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah
keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat
masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam
sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam
dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut
Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat. Joko Said muda
yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering
membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya.
Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk
mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa,
karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk
menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan.
Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.
Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok.
Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Sejarah Nama 'Kalijaga'
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar).
Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun.
Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’.
Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal. Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan.
Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Fakta Nama 'Kalijaga'
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.
Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa.
Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat non intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya.
Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.
Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.).
Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :
Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya.
Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.
Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.
Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok.
Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Sejarah Nama 'Kalijaga'
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar).
Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun.
Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’.
Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal. Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan.
Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Fakta Nama 'Kalijaga'
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.
Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa.
Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat non intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya.
Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.
Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.).
Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :
- Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
- Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
- Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
- Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
- Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya.
Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.