Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda
datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke
Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir
tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi
perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis
Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI
(2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni
makam Sunan Kalijaga.
Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah
karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering dimanfaatkan tanpa
disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi dengan
kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak
bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali.
Perhatikan :
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.
TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA
Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.
Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum
dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang
sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya
Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga
bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan
konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang
tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik
perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan
membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran.
Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics:
Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness
(1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan
sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat
berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan
materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan
Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai
dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib
seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya
pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.
Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di
desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama
tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan
buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil
mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar
tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di
mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang
bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan
tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut
doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.
Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi
Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan
Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan
bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip
di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan
terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu
sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi
memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan
dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa
itu.
Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935,
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk
Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah
“yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal
sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain
setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi
ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga,
para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.
Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas
harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam,
kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat
ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke
sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses
kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna
yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti
membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai
materi untuk ditafsirkan kembali.
Episode brandal
Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita
sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat
pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden
Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga
disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara
politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan
“penghubungan” dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak
-seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh
kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.
Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat
kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit,
sehingga ia bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang
kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya
dibagikan kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya
versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir
untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang
(1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling
budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden
Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak
diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.
Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama
tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas -tetapi ketika berhasil
merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas
dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang
tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu
mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat
untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah
hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat
hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan
untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar
“ilmu-ilmu“.
Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta
Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum
akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak.
Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dari ketafakurannya selama
bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan
Kalijaga.
Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti
kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat
terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh
Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk
dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884,
dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada
1993. Dalam “suluk linglung” itu juga dikisahkan pertemuan Sunan
Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah
haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa
untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri,
yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.
Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur,
sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok dari pembangunan
karakter Sunan Kalijaga : yakni bahwa selalu ada segi-segi “kebadungan”
dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang sangat penting dalam
kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti terlihat dari
perdebatannya dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi
Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak
begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam
syariat agama.
Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan
kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi
pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia
masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana
pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong,
bayangbayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan
wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan
ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat
Jawa. Bukankah pertanyaan sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan
oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah
mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran
Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi
penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun
sekarang.
Saka Tatal & Jung Cina
Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari
kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong
royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian
mendirikan salah satu dari empat tiang utama Mesjid. Entah kenapa, Sunan
Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga
dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu
dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal – dan ternyata
tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat
dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi.
Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan
Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.
Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan
Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik
perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid
dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu
untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan dengan tujuan penelitiannya,
timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut : Apakah Sunan Kalijaga
memintabantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam
masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa;
apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif dan menghayati hadits
“tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, telah mempelajari teknik itu
dari orang-orang Tionghoa; dan yang paling rawan adalah, apakah Sunan
Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?
Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti,
antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
(1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai
Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul
Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan
Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda,
H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun
sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.
Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang
“terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan,
tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir:
“Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah
narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang
dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah “tokoh
khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay Annals untuk
menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat “agak susah”
untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena
tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun
kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: “Kalaupun Gan Si Cang
adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan
Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh
penguasa Demak untuk turut serta membangun mesjid.”
Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir
sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas
peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai
kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini terdapat
adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang
meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi
ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran“, bahkan kadang
disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam pusat” di
Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak
ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah
ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim
Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di manapun, meski tetap
tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti
penyerahan diri.
Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan
oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir. “Sunan
Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya,
sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka’bah Mekah, dan pada
saat yang sama Ka’bah pun menurut bersepakat dengan Mesjid Demak.
Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:
Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok
puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk /
Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna
segaris tiada melenceng.
“Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan
sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan
satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan
dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah
yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah
memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang
wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid Demak sebagai
pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui
kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang
membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru
berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap
“keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.”
Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam
babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan
daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar
memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos
demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan
informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan
Kalijaga : kreatif dan merdeka.
Lir-ilir, lir-ilir
Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam “rumah” kokoh dengan ukiran
Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa
dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan
mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang.
Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota.
Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa
dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan
kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka
terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan
pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika
masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun
kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.
Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat
pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang
sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting –
tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini
dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya
ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan
keagamaan yang serius :
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!
0 komentar:
Posting Komentar